.

Career Revolution – Cara Cepat Promosi Naik Pangkat dan Naik Gaji


Career Revolution, sungguh merupakan suatu impian bagi semua orang yang bekerja: Cepat Naik Pangkat dan Cepat Naik Gaji Besar.


Saya pribadi pernah bekerja delapan tahun di sebuah Bank Swasta Terbesar di Indonesia, dari tahun 1992-2000. Mulai masuk bekerja sebagai MDP (Management Development Program) atau Kader Pemimpin. Belajar terlebih dahulu selama 15 bulan. Setiap minggu ulangan, setiap 3 bulan ujian seperti ujian skripsi. Tidak lulus boleh mengulang sekali. kalau masih belum berhasil, akan dikeluarkan dari MDP.


Ternyata setelah lulus MDP, karir saya termasuk sangat cepat. Hanya dalam waktu 21 bulan setelah lulus MDP, saya diangkat menjadi Wakil Pemimpin Kantor Cabang Utama di Cabang kelas Wilayah (Cabang Besar). Sukses dua tahun sebagai Wakil, kemudian dipromosi menjadi Kepala Cabang Utama. Gaji juga mengalami lonjakan sangat besar, sekitar 1200% atau duabelas kali lipat dalam waktu 6,5 tahun berkarir. Dan pindah ke perusahaan baru dengan posisi Senior Vice President, dengan gaji 3 kali lipat dari yang sudah naik duabelas kali.


Ini rahasia nya:



  1. Bisa dipercaya.

  2. Punya nilai tambah.

  3. Berperilaku menyenangkan.

  4. Dikenal orang yang tepat dalam jumlah yang banyak.


Mari kita bahas satu persatu Rahasia di atas.


1. Bisa Dipercaya.


Tidak bisa dipercaya tidak ada karir! Selesai. Titik. Hal ini adalah syarat mutlak dalam berkarir. Kadang ujian bisa dipercaya atau tidak sangat tipis. Misal waktu saya menjadi wakil pemimpin, saya tidak tahu bahwa penggunaan telpon pribadi dimonitor oleh atasan saya. Untung saat itu setiap bulan saya minta print penggunaan telpon dengan kode password saya dan penggunaan interlokal pribadi saya keluarkan dan saya bayar pribadi. Saya baru tahu ketika wakil pemimpin yang lain marah-marah karena diminta membayar penggunaan telpon pribadi.


Juga anda tidak pernah tahu anda sedang di tes atau tidak oleh atasan anda. Contoh satu hari saya diminta oleh Wakil Presiden Direktur untuk mendatangi sebuah perusahaan, dan oleh pemilik perusahaan tersebut saya diberi amplop ucapan terima kasih dan tentu saja ini adalah hal terlarang di perusahaan saya, maka saya tolak. Eh sore harinya saya di telpon oleh Wapresdir yang merangkap Kepala Divisi HRD (sekaligus anak pemilik perusahaan!), diberi ucapan selamat bahwa saya lolos tes, dan siap untuk dipromosi jadi pemimpin cabang! Bisa terbayang bila saat itu saya tidak lolos tes. Tidak ada promosi. Tidak ada karir lagi. Masuk daftar black list. Tunjukkan anda bisa dipercaya dalam hal besar maupun hal kecil.


2. Punya Nilai Tambah.


Diakui atau tidak, sadar atau tidak, ketika kita berkarir, kita akan dibandingkan dengan rekan kita.


Usahakan kita punya nilai tambah lebih dari orang lain. Caranya: Ambil tanggung jawab lebih, kerja ekstra. Dan yang terbaik adalah jadi yang Terbaik di Bidang yang sedang dimonitor, atau kita buat atasan mengetahui bidang yang kita terbaik. Cara jadi yang terbaik;


a. Secara sadar kita menentukan bahwa kita mau jadi yang terbaik.


b. Alasan sangat kuat untuk menjadi yang terbaik, demi orang-orang yang kita cintai.


c. Belajar dari yang Terbaik.


Ketika berkarir saya mendapatkan prestasi Hasil Audit Terbaik di Indonesia, Pertumbuhan Pemegang Kartu ATM Terbesar, Pertumbuhan Kartu Kredit Terbesar, Tingkat Mati Mesin ATM Terendah Seluruh Indonesia dll. Semua tercapai karena melakukan tiga hal di atas.


3. Berperilaku Menyenangkan.


Berarti kita sopan santun sesuai dengan budaya perusahaan, inisiatif menyelesaikan masalah tanpa disuruh, semangat, antusias, positif. Dan sadar 3 T dalam berbicara. Timing, Teknik, dan Tempatnya.


4. Dikenal Orang yang Tepat dalam Jumlah yang Banyak.


Percuma kalau kita hebat hanya dikenal oleh office boy. Pastikan atasan yang kompeten menaikan gaji, serta mempromosikan kita tahu kelebihan anda. Satu hal lagi, pastikan yang tahu bukan hanya atasan kita langsung, juga atasan kita yang lain, bahkan atasan atau pemilik perusahaan lain. Ikut organisasi, perkumpulan, asosiasi. Berani tampil, jadi pengurus, jadi ketua. Dulu saya aktif di Asosiasi Management Indonesia, bahkan sempat menjadi Ketua Umum hampir satu periode di kota Malang dan satu periode di kota Jakarta. Dengan kita dikenal banyak orang maka selain kita lebih dihargai di dalam perusahaan, kita juga dihargai di luar perusahaan.




Akhir kata, semoga artikel ini memberi strategi serta motivasi sehingga karir anda terjadi revolusi, naik pangkat dan naik gaji dengan cepat!




Salam Dahsyat Selalu!




Tung Desem Waringin


Penulis Buku Rekor MURI Terlaris di Indonesia ”Financial Revolution” dan ”Marketing Revolution”



Artikel Career Revolution – Cara Cepat Promosi Naik Pangkat dan Naik Gaji ini dipersembahkan oleh TDWClub.com.

.
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara masalah pendidikan seakan tidak habis-habisnya sampai manusia itu sendiri lenyap dari permukaan bumi alias mati, karena manusia wajib menjalani pendidikannya sejak dia dilahirkan sampai dia masuk liang lahad, jasadnya larut ditelan bumi, dan rohnya kembali kepada sang pencipta yaitu Allah SWT.


Proses pendidikan terhadap manusia terjadi pertama kali ketika Allah SWT selesai menciptakan Adam Alaihissalam, lalu Allah SWT mengumpulkan tiga golongan mahluk yang diciptakan-Nya untuk diadakan Proses Belajar Mengajar. Tiga golongan mahluk ciptaan Allah dimaksud yaitu Jin, Malaikat, dan Manusia (Adam Alaihissalam) sebagai "mahasiswa" nya, sedangkan Allah SWT bertindak sebagai "Maha Guru" nya. Setelah selesai Proses Belajar Mengajar maka Allah SWT mengadakan evaluasi kepada seluruh mahasiswa ( jin, malaikat, dan manusia) dengan cara bertanya dan menyuruh menjelaskan seluruh materi pelajaran yang diberikan, dan ternyata Adam lah (dari golongan manusia) yang berhasil menjadi juara dalam ujian tersebut.
Kejadian di atas diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya QS.2 (Al-Baqoroh): 30 - 33 sebagai berikut :

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah dimuka bumi', Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan kholifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kam,I senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui'."

"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Mlaikt lalu berfirman: 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

"Mereka menjawab: 'Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengatahui lagi Maha Bijaksana."


"Allah berfirman :

'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka benda-benda itu, Allah berfirman: 'Bukankah sudah Ku katakana kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?".

Allah Swt berfirman dalam Alquran yang artinya : Allah tidak akan merubah suatu bangsa sehingga mereka sendiri merubah apa yang ada dalam dirinya. Termasuk yang ada di dalam diri manusia adalah hati, fakir, rasa, dan raga. Maka tepat sekali untuk merespon firman Allah di atas, Pemerintah bersama-sama DPR mengamandemen UUD 1945 pada tahun 2000 yaitu bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, dan pada amandemen tahun 2002 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa, tanggung jawab Negara dalam pendidikan diwujudkan dalam APBN sekurang-kurangnya 20 %.
Menuntukt ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusian tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi lebih baik.
Karena menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sangat tepat wahyu pertama turun kepada nabi SAW mengisyaratkan tentang perintah membaca (menuntut ilmu).

Peningkatan mutu pendidikan dirasakan sebagai suatu kebutuhan bangsa yang ingin maju. Dengan keyakinan bahwa pendidikan yang bermutu dapat menunjang pembangunan disegala bidang. Oleh sebab itu perlu adanya pemahaman tentang dasar dan tujuan pendidikan secara mendalam. Apabila kita telah memamahami dasar dan tujuan penulis yakin bahwa kita bisa memajukanpendidikan secara nasional.

Dasar dan tujuan pendidikan merupakan masalah yang fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, karena dasar pendidikan itu akan menentukan corak dan isi pendidikan. Tujuan pendidikan itupun akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Untuk itu maka kita harus benar benar memahami apa saja dasar pendidikan dan tujuan yang nantinya bisa dicapai.



B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka dapat di rumuskan permasalahan makalah ini yaitu agar kita bisa memahami Kewajiban Belajar mengajar Dan Tujuan Pendidikan secara Umum dan menurut pandangan Islam. Serta bagaiman Subyek Pendidikan Terhadap Islam.




C. Tujuan Makalah

Penulisan makalah ini memiliki tujuan :
1.Untuk memahami Defenisi Pendidikan
2.Untuk memahai Dasar Pendidikan
3.Untuk memahami Tujuan Pendidikan
4.Untuk mengetahui Kewajiban belajar mengajar
5.Serta subyek pendidikan























BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan. Pendidikan memiliki definisi yang sangat luas dan dapat dilihat dari berbagai sudut.
1.Definisi Umum
Pendidikan dapat diartikan sebagai Suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik.
2.Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara dan pembuatan mendidik

B. Dasar Pendidikan

Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Dasar atau landasan pendidikan dapat dilihat dari berbagai segi yaitu :

Pandangan Islam
1.Al-qur’an.
Al-qur’an merupakan pedoman tertinggi yang manjadi petunjuk dan dasar kita hidup di dunia. Dalam Al-qur’an kita bisa menemukan semua permasalahan hidup termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan.

2.Hadist
Hadist merupan pedoman kita setalah Al-qur’an, dengan demikian hadist juga merupakan dasar atau elemen dalam pendidikan.

3.Nilai-nilai Sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadist.

C. Kewajiban Belajar Mengajar
1. Surah Al-alaq 1-5
-اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
- خَلَقَ الإِنسَـنَ مِنْ عَلَقٍ
- اقْرَأْ وَرَبُّكَ الاٌّكْرَمُ
- الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
- عَلَّمَ الإِنسَـنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Kata Iqra’ terambil dari kata kerja kara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut maka kita sudah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikinan, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menela’ah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagainya.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika nabi SAW diperintah untuk membaca Iqra’ oleh malaikat Jibril, Nabi SAW bertanya ma Aqra’ ?tetapi malaikat jibril tidak menjawabnya. Ada yang berpendapat Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi rabbika, dalam arti bermanfaat untuk manusia dan dirinya dunia dan Akhirat. Demikian Allah memberikan ransangan kepada manusia, agar senantiasa mengerahkan segala daya dan upayanya dalam menuntut ilmu.
Syekh “Abdul Halim MAhmud (mantan pemimpin tinggi Al-Azhar Mesir) serbagaimana dikutip Quraish Shihab dia menulis dalam bukunya al-Qur’an Fi Syahr al-Qur’an: “ dengan kalimat iqra’ bismi Rabbika, al-Qur’an tidak hanya sekedar menyuruh membaca, tetapi membaca adalah lambing dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu” . demikian juga ketika kita berhenti melakukan aktifitas hendaklah didasari pada Bismi rabbika sehingga akhirnya ayat itu berarti “jadilah seluruh kehidupanmu, Wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, kesemuanya demi karena Allah semata”.
Dalam surat Al-alaq Allah mengisyaratkan bahwa dia adalah guru pertama bagi manusia. Dapat kita kutip salah satu ayatnya yang ke 5.
Segala potensi yang dimiliki manusia sebagai jalan untuk mengetahui sesuatu baik berupa isyarat yang jelas (tampak) maupun yang tersembunyi yang hanya mampu ditangkap dengan indra yang abstrak merupakan cara Allah mendidik manusia.
Quruaish Shihab mengatakan, Al-Qur’an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa qalbu menjadikan manusia seprti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita ditangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri.
Jelaslah prinsip dasar manusia menuntut ilmu (Belajar) tidak luput dari unsur wahyu ilahiyah, maka tidak pantas manusia sebagai penuntut ilmu melepaskan diri dari wahyu Ilahi Sebagai ayat-ayat Qauliyah. Karena petunjuk yang tidak akan ditemui di alam (ayat-ayat kauniyah Allah) hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
2. Qs. Ali-Imran (3): 190-191.




Ayat ini diturunkan untuk menerangi akal dan hati manusia dengan dalil-dalil tentang keesaan Allah dan kekuasaan Allah. Sebagai ikatan dalam sebuah tuntunan yang kuat tentang fakta Science yang dicapai oleh para ahli, melalui obserfasi, eksperimen, dan penyimpulan. Fakta tersebut dapat dijadikan jalan untuk merenungkan kemaha agungan Allah SWT, merenungkan tanda-tanda kebesarannya. Ayat-ayat al-Qur’an yang kita baca hari ini tidak sedikitpun berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca pada zaman Rasullullah SAW dahulu, tetapi tidak pernah berbenturan dengan ilmu pengetahuan (sains) hari ini, dan sampai akhir masa.

D. Tujuan Pendidikan
Surah adz-Dzariyat ayat 56


Paradigma pendidikan dalam Alquran tidak lepas dari tujuan Allah SWT menciptakan manusia itu seindiri, yaitu pendidikan penyerahan diri secara ikhlas kepada sang Kholik yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat, sebagaimna Firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 : "Tidak semata-mata kami ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah". Menurut Armai Arief (2007:175) " bahwa tujuan pendidikan dalam Alquran adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah SWT. dan kholifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang diciptakan Allah".
Pendidikan dalam perspektif Alquran dapat dilihat bagaimana Luqman Al-Hakim memberikan pendidikan yang mendasar kepada putranya, sekaligus memberikan contohnya, juga menunjukkan perbuatannya lewat pengamalan dan sikap mental yang dilakukannya sehari-hari dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara wasiat pendidikan 'monumental' yang dicontohkan Luqman lewat materi billisan dan dilakukannya lewat bilamal terlebih dahulu adalah: Jangan sekali-kali menyekutukan Allah, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, jangan mengikuti seruan syirik, ingatlah bahwa manusia itu pasti mati, hendaklah kita tetap merasa diawasi oleh Allah, hendaklah selalu mendirikan sholat, kerjakan selalu yang baik dan tinggalkan perbuatan keji, jangan suka menyombongkan diri, sederhanalah dalam berpergian, dan rendahkanlah suaramu.
Walaupun sederhana materi dan metode yang diajarkan Luqman Al-Hakim kepada putranya termasuk kepada kita semua yang hidup di jaman modern ini, namun betapa cermat dan mendalam filosofi pendidikan serta hikmah yang dimiliki Luqman untuk dapat dipelajari oleh generasi berikutnya sampai akhir jaman.
E. Subyek Pendidikan
بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
الرَّحْمَنِ
1. Tuhan Yang Maha Pengasih.
عَلَّمَ الْقُرْآنَ
2. Dia mengajarkan Alquran.
خَلَقَ الْإِنسَانَ
3. Dia menciptakan manusia.
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
4. Dia mengajarinya perkataan fasih (bukti yang jelas).
Yang Maha Pengasih (ar-Rahman) adalah salah satu sifat Allah. Setiap sifat adalah ayat, sebuah tanda yang menunjukkan keesaan Allah. Segala sesuatu dalam penciptaan selalu berkaitan dengan-Nya.
Untuk memahami, mengapresiasi, dan menghayati rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, manusia telah dianugerahi pengetahuan. Seseorang tidak dapat memahami sesuatu kecuali bila mengalaminya terlebih dahulu. Pengetahuan paling berharga dalam perjalanan hidup adalah pengetahuan Alquran. Hubungan manusia dengan Allah dijalin melalui Alquran, melalui kitab suci, melalui pengetahuan yang memungkinkan manusia melihat rahmat Allah yang serba meliputi. Makna hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. diciptakan sebelum diciptakannya Adam adalah bahwa cahaya jalan kebenaran sudah ada lebih dahulu sebelum Adam. Setelah Alquran, diciptakanlah manusia, Bani Adam. Dengan demikian, pengetahuan— cahaya Islam, cahaya Alquran—sudah ada lebih dahulu sebelum Allah menciptakan manusia (khalaqa al-insan).
Allah Yang Maha Pencipta benar-benar sangat mengetahui apa yang akan diciptakan-Nya. Makhluk paling mulia adalah wujud Muhammad, makhluk paling sempurna. Pengetahuan tentang produk akhirnya, makhluk paling mulia, wakil (khalifah) Allah, berada di tangan Zat Yang Maha Mengetahui (al-'Alim). Nur Muhammad sudah ada ketika Adam masih berbentuk air dan tanah liat. Tujuan penciptaan adalah menciptakan manusia sempurna, nabi terakhir, yang tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Setiap aspek ciptaan memiliki label Penciptanya. Penciptaan ada di dalam nama-Nya. Dengan ketentuan-Nya, rahmat-Nya dimanifestasikan sebagai pengetahuan tentang Alquran. Kemudian, rahmat-Nya pun menjadi tindakan kreasi—khalaqa al-insan—yang menimbulkan riak lebih besar melalui "bukti." Bayan bermakna bukti nyata yang memancar dari Yang Mahalembut, dengan menembus berbagai manifestasi fisik kasar yang menjadi orientasi persepsi manusia. Inilah pengetahuan tentang kesaksian. Segala sesuatu yang terlihat memberi kesaksian atas penciptanya dan juga ketundukannya kepada ketentuan Yang Maha Pengasih.
Pengetahuan tentang Alquran adalah pengetahuan tentang tauhid atau keesaan Allah. Dalam konteks ini, rahmat juga berarti tauhid Zat Yang Wahid, Yang Mahaesa. Akses kepada-Nya adalah melalui pengetahuan tentang ketentuan-Nya, yakni Kitab Suci. Penciptaan terjadi sesuai dengan ketentuan-Nya. Bayan adalah hasil dari hakikat penciptaan itu.
Manusia mencari bukti untuk segala sesuatu. Ia selalu mencari pengetahuan. Ia berusaha mengetahui berbagai sebab, akibat, dan bukti dari segala sesuatu. Tidak ada sesuatu yang acak; segala sesuatu meninggalkan jejak. Manusia adalah jejak sang Pencipta; manusia adalah bukti (hujjah)-Nya. Segala sesuatu dalam eksistensi-Nya adalah tanda kekuasaan Allah. Jika manusia mengenal dirinya sendiri, maka ia telah mengetahui makna ketuhanan (rububiyyah). "Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya" (man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu).












BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari Uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa :
1.Pendidikan menurut pandangan islam lebih dominan kepada pembentukan akhlak, akidah dan iman. Sedangkan secara umum pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan pengembangan kemapuan yang dimiliki. Apabila kedua hal ini digabungkan maka hasil dari pendidikan akan sangat maksimal dan menghasilkan peserta didik yang memiliki intelektual dan akhlak yang mulia.
2.Dasar pendidikan menurut islam fokus kepada Al-qur’an dan hadist sedang secara umum dasar pendidikan juga lebih menitik beratkan ke dasar religius.
3.Tujuan Pendidikan baik secara islam dan umum hampir memiliki kesamaan yaitu mendapatkan kesuksesan. Apabila digabungkan maka tujuan pendidikan adalah upaya untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan akherat.
4. Menuntukt ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat dari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusian tidak akan mampu merubah suatu peradaban
B. Saran
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman terhadap Kewajiban belajar mengajar dan tujuan pendidikan secara mendalam baik secara islam maupun secara umum. .

makalah akidah ahlak

BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Akhlaq adalah salah satu dari tiga elemen dasar ajaran islam; aqidah, syariah, dan akhlaq. Aqidah mengurusi masalah keyakinan, syariah mengurusi masalah hukum dan peribadatan, sedangkan akhlaq mengurusi masalah moral dan perilaku. Ketiga elemen tadi bersifat saling menguatkan dan melengkapi, tetapi elemen yang sering menjadi tolak ukur dan pembanding dengan umat lain, justru elemen akhlaq ini.
Tiga serangkai akidah, syariah, dan akhlaq bersifat saling menguatkan dan melengkapi. Ada yang mengumpamakan ketiga serangkai tadi bagai akar, batang, dan daun, buah dari sebatang pohon. Dengan akarnya, pohon itu dapat berdiri kokoh. Dengan aqidah atau iman, kita dapat berdiri kokoh dengan menyerap kekuatan, kebenaran , dan kasih Allah untuk bekal kehidupan kita.
Batang adalah saluran untuk mengalirnya bahan makanan yang telah diserap oleh akar dan kemudian disalurkan ke daun, untuk menghasilkan bunga dan buah. Demikian pula dengan islam, adalah aturan dan peribadatan yang merupakan penyalur kehendak Allah yang telah kita serap dengan iman kita.
B.Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Apa pengertian dari ahlak, iman dan ihsan?
2. Apa hubungan antara ahlak ,iman dan ihsan?
3. Keterkaitan antara aqidah dan ahlak?



BAB II
PEMBAHASAN
HUBUNGAN AKHLAK DENGAN IMAN DAN IHSAN
A. Pengertian Ihsan

Nabi muhammad Saw. Menjalaskan tentang agama dalam satu kalimat yang sangat singkat, yakni ad-dien al-muamalah agama adalah interaksi. Interaksi yang dimaksud di sini adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhannya. Islam datang membawa ajaran yang mengarahkan manusia memperbaiki hubungan antara semua pihak.
Ihsan berarti baik atau berbuat baik. Menurut istilah Ihsan adlah keadaan seseorang dalam beribadat kepada Allah SWT. Seakan-akan dia melihat Allah dengan mata hatinya. Jika tidak melihat-Nya, maka dia yakin bahwa sesunguhnya Allah SWT. Senantiasa melihatnya. Dengan kata lain, Ihsan berarti suasana hati dan perilaku seseorang untuk senantiasa merasa dekat dengan Allah, sehingga tindakannya, perilakunya, sesuai dengan aturan dan urgen Allah SWT.
Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari beberapa hadis terkenal seperti “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.” jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna diatas itu tidak berbeda jauh dari yang secara umum dipahami oleh orang-orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal pandangan hidup kita “iman dan taqwa habl mi al-Lah, dilambangkan oleh tabir pertama atau takbirat al-ihram dalam shalat” selalu, dan seharusnya, melahirkan dimensi horisontal pandangan hidup kita (amal saleh, akhlak mulia, habl min al-nas, dilambangkan olen ucapan salam atau taslim pada akhir shalat). Jadi makna-makna tersebut sangat sejalan dengan pengertian umum tentang keagamaan.
Ihsan secara lahiriah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriah ini, jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniah batin akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan takwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadat kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan mauamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlak nya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasullah dalam salah satu hadisnya. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dan ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Landasan Syar’i Ihsan
Pertama, Al-Qur`anul Karim
Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)
Kedua, As-Sunnah
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)

B. Akhlak Sebagai Manifestasi Iman

Iman dari segi bahasa biasa diartikan dengan pembenaran. Sebagian pakar mengartikannya sebagai pembenaran hati terhadap apa yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup, tetapi yang terpenting adalah pembeneran dengan hati. Didalam islam tidak semua pembenaran dinamakan iman. Iman adalah membenarkan menyangkut apa yang disampai oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai mana yang tergambar dalam pokok-pokok dalam arkanul iman.
Iman menjadi dasar untuk berperilaku bagi setiap insan yang mengaku dirinya muslim. Karena dengan iman seseorang akan merasakan adanya dzat yang Maha Halus dan Maha Mengetahui, yang tidak hanya menghindarkan orang dari bebuat jahat tapi juga memotifasi untuk berbuat baik. Derajat iman seseorang itu adlah tingkatan iman yang menunjukkan kebaikan perilaku seseorang yang dapat dilihat pada indikator-indikator yaitu: kecintaan terhadap perbuatan baik dan tidak senang dengan untuk berbuat buruk.

C. Keterkaitan antara aqidah dengan ahlak

Aqidah atau keyakinan, dinamakan juga ilmu aqa,id (ikatan yang kokoh). Keyakinan kepada Allah SWT., harus merupakan ikatan yang kokoh yang tidak boleh lepas atau dibuka begitu saja, karena akan berbahaya bagi umat manusia. Orang yang tidak memiliki ikatan yang kokoh dengan Tuhan, menyebabkan ia dengan mudah tergoda dengan ikatan-ikatan lainnya yang membahayakan.
Keterkaitan aqidah dengan akhlak dapat dilihat melalui beberapa pandangan sebagai berikut
1. dilihat dari segi objek bahasanya,aqidah membahas masalah Tuhan,baik dari sagi Zat,sifat dan perbuatannya.kepercayaan yang mantap kapada Tuhan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan manusia sehingga perbuatan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan bentuk akhlak yang mulia.Allah SWT berfirman (Q.S Al-Bayyinah:5) yang artinya: ”padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan kataatan kapada-Nya dalam (menjalankan)agama yang lurus,dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
2. Dilihat dari fungsinya aqidah menghendaki agar seseorang tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman dan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia bertauhid meniru sifat-sifat itu. Allah SWT bersifat ar-rahman dan ar-rahim, maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sifat kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan asma’ul husnah yang jumlahnya 99, maka asma’ul husnah tersebut harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan member pengeruh terhadap pembentukan akhlak.

Beriman kepada malaikat dimaksudkan agar manusia mencontoh sifat-sifat yang terdapat pada malaikat seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Percaya kepada malaikat dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga tidak berani melanggar larangan Allah. Dengan percaya kepada malaikat membawa kepada perbaikan akhlak yang mulia. Allah berfirman dalam QS.at-tahrim:6 yang artinya “malaikat-malaikat yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Beriman kepada kitab khusus Al-qur’an, maka secara akhlaki harus diikuti denganupaya menjadikan Al-qur’an sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada kitab erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Demikian juga beriman kepada para rasul khususnya nabi Muhammad Saw, harus disertai dengan mencontoh akhlak rasulullah dan mencintainya. Mengikuti dan mencintai rasulullah dinilai sama dengan mencintai dan menaatinya. Dengan cara demikian beriman kepada rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia, hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib para rasul yaitu sifat shidiq (jujur), amanah (terpercaya), tablig (menyampaikan ajaran sesuai perintah Allah), dan fathonah (cerdas). Jika semua itu dicontoh oleh manusia yang mengimaninya maka akan dapat menimbulkan akhlak yang mulia, disinilah letaknya hubungan antara akhlak dengan aqidah.
Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlak harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilakukan selama didunia ini akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti










.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari beberapa hadis terkenal seperti “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi.”
Iman menjadi dasar untuk berperilaku bagi setiap insan yang mengaku dirinya muslim. Karena dengan iman seseorang akan merasakan adanya dzat yang Maha Halus dan Maha Mengetahui, yang tidak hanya menghindarkan orang dari bebuat jahat tapi juga memotifasi untuk berbuat baik.
Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlak harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatAn yang dilakukan selama didunia ini akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

B. Saran











DAFTAR PUSTAKA
1. Mannan, Audah,Pengantar Studi Akidah dan Akhlak, Makassar: Kencana, 2010
SEJARAH TEORI SOSIOLOGI

A. Pengertian Teori
Ada tiga istilah yang sering dikaburkan maknanya yaitu konsep, proposisi dan teori. Konsep adalah abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus (Rakhmat, 1989:16), misalnya hijau, biru, hitam digeneralisasikan sebagai warna. Zina, mabuk, pasang nomor buntut, digeneralisasikan sebagai mungkar. Sedekah, puasa, shalat digeneralisasikan sebagai makruf.


1. Mashab Geografi dan Lingkungan
Teori ini mencoba menghubungkan antara kehidupan masyarakat dengan kondisi geografi dan lingkungan. Teori ini dikembangkan oleh Edward Buckle dari Inggris (1821-1862) dan Le Play dari Perancis (1806-1888). Di dalam hasil karyanya yang berjudul History of Civilization in England. Mereka melihat pengaruh keadaan alam terhadap masyarakat. Di dalam analisisnya, dia telah menemukan beberapa keteraturan hubungan antara keadaan alam dengan tingkah laku manusia. Misalnya, terjadinya bunuh diri adalah sebagai akibat rendahnya penghasilan, dan tinggi rendahnya penghasilan tergantung dari keadaan alam (terutama iklim dan tanah). Taraf kemakmuran masyarakat juga sangat tergantung pada keadaan alam di mana masyarakat hidup.
2. Mazhab Organis dan Evolusioner
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Herbert Spencer (1820-1903). Herbert Spencer adalah orang yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang kongkrit.. Menurutnya suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan dengan adanya diferensiasi antara bagian-bagiannya. Hal ini berarti adanya organisasi fungsi yang lebih matang antara bagian-bagian organisme tersebut dan integrasi yang lebih sempurna pula. Secara evolusioner, maka tahap organisme tersebut akan semakin sempurna sifatnya. Dengan demikian, maka organisme tersebut ada kriterianya yaitu kompleksitas, diferensiasi dan integrasi. Kriteria mana akan dapat diterapkan pada setiap masyarakat. Evaluasi sosial dan perkembangan sosial pada dasarnya berarti bertambahnya diferensiasi dan integrasi, peningkatan kerja, dan suatu transisi dari keadaan homogen ke keadaan yang heterogen.
Tokoh lain yang masuk dalam mazhab ini adalah W.G. Sumner (1840-1910). Salah satu hasil karyanya adalah folkways yang merupakan karya klasik dalam kepustakaan sosiologi. Folkways dimaksudkan dengan kebiasaan-kebiasaan sosial yang timbul secara tidak sadar dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan mana menjadi bagian dari tradisi. Hampir semua aturan-aturan kehidupan sosial, upacara, sopan santun, kesusilaan, dan sebagainya termasuk ke dalam folksways tersebut. Aturan-aturan tersebut merupakan kaidah-kaidah kelompok yang masing-masing mempunyai tingkat atau derajat kekuatan yang berbeda-beda. Apabila kaidah-kaidah tadi dianggap sedemikian pentingnya, maka kaidah-kaidah tadi dinamakan tata kelakuan. Kaidah-kaidah tersebut tidaklah menjadi bagian dari suatu masyarakat secara menyeluruh, dan oleh karena itu Sumner membedakan antara kelompok sendiri (in-group) dengan kelompok luar (Out-group). Pembedaan ini ditujukan untuk dapat memberikan petunjuk bahwa ada orang-orang yang diterima dalam suatu kelompok dan ada pula yang tidak. Pembedaan tersebut menimbulkan pelbagai macam antagonisme, pertentangan serta pertikaian.
3. Mazhab Formal
Menurut Georg Simmel dari Jerman (1858-1918) bahwa elemen-elemen masyarakat mencapai kesatuan melalui bentuk-bentuk yang mengatur hubungan antara elemen-elemen tersebut. Bentuk-bentuk tadi sebenarnya adalah elemen-elemen itu sendiri.
Selanjutnya Simmel berpendapat bahwa berbagai lembaga di dalam masyarakat terwujud dalam bentuk superioritas, subordinasi dan konflik. Semua hubungan-hubungan sosial, keluarga, agama, peperangan, perdagangan, kelas-kelas dapat diberi karakteristik menurut salah satu bentuk di atas atau ketiga-tiganya.
Menurut Simmel, seseorang menjadi warga masyarakat untuk mengalami proses individualisasi dan sosialisasi. Tanpa menjadi warga masyarakat tak akan mungkin seseorang mengalami proses interaksi antara individu dan kelompok. Dengan perkataan lain, apa memungkinkan masyarakat berproses adalah bahwa setiap orang mempunyai peranan yang harus dikerjakannya. Maka interaksi individu dengan kelompok hanya dapat dimengerti dalam kerangka peranan yang dilakukan oleh individu.
Leopold Von Wiese (1876-1961) berpendapat, bahwa sosiologi harus memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan antar manusia tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan maupun kaidah-kaidah. Sosiologi harus mulai dengan pengamatan prilaku kongkrit tertentu. Ajarannya bersifat empiris dan dia berusaha untuk mengadakan kuantifikasi, terhadap proses-proses sosial yang terjadi. Proses sosial merupakan hasil perkalian dari sikap dan keadaan, yang masing-masing dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya secara sistematis.
Alfred Vierkandt (1867-1953) menyatakan bahwa sosiologi menyoroti situasi-situasi mental. Situasi-situasi tersebut tak dapat dianalisis secara tersendiri, akan tetapi merupakan hasil perilaku yang timbul sebagai akibat interaksi antar individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian, tugas sosiologi adalah untuk menganalisis dan mengadakan sistematika terhadap gejala sosial dengan jalan menguraikannya ke dalam bentuk-bentuk kehidupan mental. Hal itu dapat ditemukan dalam gejala-gejala seperti harga diri, perjuangan, simpati, imitasi dan lain sebagainya. Itulah prekondisi suatu masyarakat yang hanya dapat berkembang penuh dalam kehidupan berkelompok atau dalam masyarakat setempat. Oleh karena itu, sosiologi harus memusatkan perhatian terhadap kelompok-kelompok sosial.
4. Mazhab Psikologi
Tokohnya diantaranya adalah Gabriel Tarde (1843-1904) dari Perancis. Dia mulai dengan suatu dugaan atau pandangan awal bahwa gejala sosial mempunyai sifat psikologis yang terdiri dari interaksi antara jiwa-jiwa individu, di mana jiwa tersebut terdiri dari kepercayaan-kepercayaan dan keinginan-keinginan. Bentuk-bentuk utama dari interaksi mental individu-individu adalah imitasi, oposisi dan adaptasi atau penemuan baru. Imitasi sering kali berhadapan dengan oposisi yang menuju pada bentuk adaptasi yang baru. Dengan demikian mungkin terjadi perubahan sosial yang disebabkan oleh penemuan-penemuan baru. Hal ini menimbulkan imitasi, oposisi penemuan-penemuan baru, perubahan-perubahan dan seterusnya.
Dengan demikian, keinginan utama Tarde adalah berusaha untuk menjelaskan gejala sosial di dalam kerangka reaksi-reaksi psikis seseorang.
5. Mazhab Ekonomi
Tokoh-tokohnya: Karl Marx (1818-1883) dan Mar Weber (1864-1920). Marx telah mempergunakan metode-metode sejarah dan filsafat untuk membangun suatu teori tentang perubahan yang menunjukkan perkembangan masyarakat menuju suatu keadaan dimana ada keadilan sosial. Menurut Marx, selama masyarakat masih terbagi atas kelas-kelas, maka pada kelas yang berkuasalah akan terhimpun segala kekuatan dan kekayaan. Hukum, filsafat, agama dan kesenian merupakan refleksi dari status ekonomi kelas tersebut. Namun demikian, hukum-hukum perubahan berperanan dalam sejarah, sehingga keadaan tersebut dapat berubah baik melalui suatu revolusi maupun secara damai. Akan tetapi selama masih ada kelas yang berkuasa, maka tetap terjadi eksploitasi terhadap kelas yang lebih lemah. Oleh karena itu selalu timbul pertikaian antara kelas-kelas tersebut, pertikaian mana akan berakhir apabila salah satu kelas (yaitu kelas proletar) menang, sehingga terjadilah masyarakat tanpa kelas.
Weber antara lain menyatakan bahwa semua bentuk organisasi sosial harus diteliti menurut perilaku warganya, yang motivasinya serasi dengan harapan warga-warga lainnya. Untuk mengetahui dan menggali hal ini perlu digunakan metode pengertian. Tingkah laku individu-individu dalam masyarakat dapat diklasifikasikan menurut empat tipe ideal aksi sosial, yakni:
1. Aksi yang bertujuan, yakni tingkah-laku yang ditujukan untuk mendapatkan hasil-hasil yang efisien.
2. Aksi yang berisikan nilai yang telah ditentukan yang diartikan sebagai perbuatan untuk merealisasikan dan mencapai tujuan.
3. Aksi tradisional yang menyangkut tingkah laku yang melaksanakan suatu aturan yang bersanksi.
4. Aksi yang emosional, yaitu yang menyangkut perasaan seseorang.
5. Mazhab Hukum
Di dalam sorotannya terhadap masyarakat, Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap hukum yang dihubungkannya dengan jenis-jenis solidaritas yang terdapat dalam masyarakat. Hukum menurut Durkheim adalah kaidah-kaidah yang bersanksi yang berat-ringannya tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan. Di dalam masyarakat dapat ditemukan dua macam sanksi kaidah-kaidah hukum yaitu sanksi yang represif dan sanksi yang restitutif. Pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis terdapat kaidah-kaidah hukum dengan sanksi yang refresif, sedangkan sanksi-sanksi restitutif terdapat pada masyarakat atas dasar solidaritas organis.
Menurut Weber ada empat tipe ideal hukum yaitu:
1. Hukum irasional dan materiil, yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun.
2. Hukum irasional dan formal, yaitu dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah di luar akal, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan.
3. Hukum rasional dan materiil, dimana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksaan penguasa atau ideologi.
4. Hukum rasional dan formal yaitu dimana hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum.

pengertian,sinonim,bentuk-bentuk,dan struktur Hadis

PENGERTIAN, SINONIM, BENTUK-BENTUK DAN STRUKTUR HADIS
A. Pengertian Hadîts
Menurut Abû al-Baqâ’ sebagaimana dikutip oleh al-Qasîmî ([t.th]: 61), kata hadîts dalam bahasa Arab “hadîts” merupakan bentuk isim (noun) dari “tahdîts” dan bentuk tunggal (singular) dari kata “ahâdîts”. Diungkap oleh ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 26) dan Muh. Zuhri (1997: 1) artinya secara etimologi adalah jadîd (baru), qarîb (dekat), dan khabar (kabar, berita, perkataan, keterangan). Bagi al-Zamakhsyarî sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 1), Hadîts disebut sebagai “hadîts” antara lain karena ungkapan periwayatannya “haddatsanî anna anl-Nabî shalla Allâh ‘alayhi wa sallam qâla...”. Penyebutan hadîts dengan arti jadîd dan qarîb juga merupakan konsekuensi logis dari menyebut al-Qur`ân dengan qadîm (lama, terdahulu) dan ba’îd (jauh), karena bersumber dari Allâh SWT, sementara hadîts hanya bersumber dari utusan-Nya.
Adapun penyebutan hadîts dengan khabar; yaitu sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari sesorang kepada orang lainnya dihubungkan dengan kata tahdîts yang berarti riwâyat, ikhbâr (meriwayatkan, mengabarkan). Allâh SWT pun menggunakan kata hadîts dengan pengertian ini, misalnya: maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (kalimat) yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar (QS. Al-Thûr/52: 34), apakah telah sampai kepadamu khabar (kisah) Musa? (QS. Thâhâ/20: 9), dan Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`ân yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang (QS. Al-Zumar/39: 23).
Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 7) menjelas-kan bahwa pemaknaan istilah hadîts juga mengalami perkembangan. Pada mulanya, kata ini berarti “kabar dan kisah” baik baru ataupun lama, seperti ungkapan Abû Hurayrah “aturîdûna an uhadditsakum bi hadîtsin min ahâdîtsikum”. Kemudian, kata hadîts diartikan dengan pesan keagamaan secara umum, seperti HR. Muslim dari Jâbir ibn ‘Abd Allâh:
...أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ...
Artinya: “... adapun sesudah itu, sebaik-baik hadîts (berita) adalah Kitâb Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ...” (Shahih Muslim, IV: 359, hadits 1435)
Setelah itu, baru istilah hadîts secara khusus dimaknai dengan Hadîts Nabawî, sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Abî Hurayrah, saat ia bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
Artinya: “Ya Rasûlullâh, siapakah manusia yang paling berbahagia dengan syafaat Engkau di hari kiamat”? Rasûlullâh SAW bersabda: “Wahai Abû Hurayrah, sungguh aku kira, belum ada seorang pun yang menanyakan berita ini lebih dahulu darimu. Aku lihat, engkau termasuk orang yang bersemangat terhadap hadîts (nabawî). Manusia yang paling berbhagia dengan syafatku di hari kiamat kelak adalah orang yang mengucapkan Lâ Ilâha illa Allâh (TiadaTuhan selain Allâh) dengan ikhlas dari hati atau jiwanya”. (Shahih al-Bukhari, I: 174, hadits 97)
Secara terminologi, Abû al-Baqâ’ dalam al-Qasîmî ([t.th]: 61), mendefinisikan hadîts sebagai cerita atau berita yang bersumber dari Nabi Muhammad baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya). Senada dengan itu, Rif’at Fawzî (1978: 10) memaknai hadîts dengan “apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), maupun sifatnya”. Definisi yang lebih lengkap diungkap oleh Mushthafa al-Sibâ’î (1976: 47) dan Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb (1989: 19) yaitu “segala sesuatu yang berasal dari Rasûlullâh SAW, baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya), sifatnya, baik fisik-jasmaniah maupun akhlak-moralitas, ataupun sîrah (perjalanan hidup) beliau, baik itu sebelum beliau diutus sebagai Rasul --seperti ber-tahannuts (beribadah) di Gua Hira`-- maupun sesudahnya.
Dalam penerapannya, ulama Ushûl nampaknya cenderung menggunakan istilah hadîts dalam term Sunnah berupa Qawliyah (sabda Nabi). Mereka menilai bahwa Sunnah lebih luas cakupannya ketimbang hadîts (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 27). Adapun Abdur Rauf sebagai dikutip Syuhudi Ismail (1994: 3), menerangkan bahwa hadîts mencakup hadîts Nabi, hadîts qudsî, surat yang dikirim Nabi ke berbagai daerah, sifat-sifat, perbuatan, dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh shahâbat, serta perbuatan shahâbat yang dibiarkan oleh Nabi.
B. Sinonim Istilah Hadîts: Sunnah, Khabar, dan Atsar serta Perbedaannya dengan Hadits
Selain istilah hadîts, ada beberapa istilah lain yang juga bermakna sama. Di antara istilah dimaksud adalah:
1. Sunnah
Secara etimologi, menurut Ibrâhim Thâhûn (1991: 5), kata Sunnah berarti al-Tharîqat wa al-sîrat hasanatan kâna aw sayyi`atan (cara atau jalan hidup, baik terpuji maupun tercela). Dalam konteks ini, Ibn Hajr al-‘Asqalânî menyebutkan arti sunnah sebagai “tatacara atau aturan” sebagaimana HR. Al-Bukhârî dari Anas ibn Mâlik:
... فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “... Barangsiapa yang benci terhadap tatacara atau aturan (sunnah)ku, maka ia bukanlah golongan (umat)ku”. (Shahih al-Bukhari, XV: 493, hadits 4675)
Muh Zuhri (1997: 4-5) juga menyebutkan bahwa makna lain dari sunnah yaitu “jalan yang ditempuh, kemudian diikuti orang lain, atau arah, peraturan, mode, cara berbuat, sikap hidup, dan kebiasaan (tradition). Maksudnya segala sesuatu yang pernah dilakukan oleh Rasûlullâh seolah menjadi kebiasaannya dan menjadi teladan kehidupan beliau. Makna ini sejalan dengan sabda Rasûlullâh sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Jarîr ibn ‘Abd Allâh:
...مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Artinya: “... Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang baik (positif) dalam Islam, maka baginya pahala (amalan)nya ditambah pahala orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Barangsiapa yang mengadakan kebiasaan yang jelek (negatif) dalam Islam, maka atasnya dosa amalannya ditambah dosa orang-orang yang mengamalkan kebiasaannya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka”. (Shahih Muslim, V: 198, hadîts 1691)
Makna yang senada juga terdapat dalam HR. Al-Bukhârî dari Abî Sa’îd al-Khudrî:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Artinya: “Sungguh kamu akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelummu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang dab (seupa biawak), sungguh kamu memasukinya juga. Kami bertanya, “Ya Rasûlullâh, apakah mereka Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”. (Shahih al-Bukhârî, XXII: 298, hadîts nomor 6775)
Di samping itu, Syuhudi Ismail (1994a: 14) juga menjelaskan bahwa dalam rentang sejarah pemaknaan istilah sunnah pun cenderung mengalami perkembangan. Masyarakat Arab dahulu hingga abad I H, mengartikan sunnah sebagai jalan yang ditempuh oleh dalam kehidupan, baik secara induvidual maupun kolektif. Baru pada abad II H, dipelopori oleh Imam al-Syâfi’î populer penyebutan istilah sunnah dalam term Sunnah Nabi. Selanjutnya, pada abad IV H, ulama kalam (mutakallimîn) mendefinisikan sunnah dalam makna yang lain, yaitu i’tikad yang didasarkan pada keterangan Allâh dan Rasul-Nya, bukan kepada rasio semata (ahl al-sunnah).
Adapun definisi Sunnah secara terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya karena perbedaan disiplin keilmuan dan perbedaan obyek bahasan atau sudut pandangnya (side of preview).
• Menurut ulama hadîts, Rasûlullâh adalah pribadi teladan bagi umatnya dalam berbagai aspek kehidupannya. Dalam konteks ini, mereka “menyamakan” rumusan sunnah dengan hadîts sebagaimana telah dikutip sebelumnya.
• Sementara itu, ulama ushûl memandang Rasûlullâh sebagai pengatur Undang-undang yang menjelaskan aturan hidup bagi manusia dan meletakkan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya. Sejalan dengan obyek bahasan mereka, yaitu dalil-dalil syara’, maka mereka memaknai sunnah dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur`ân al-Karim baik berupa qawl (perkataan, ucapan, sabda), fi’l (perbuatan, kelakuan), maupun taqrîr-nya (ketetapan, persetujuan, anggukan, diamnya) yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’. (‘Ajjâj al-Khathîb, 1989: 19)
• Adapun ulama fiqh membahas tentang hukum-hukum syara’ dan memberi pengertian hukum kepada setiap individu. Mereka mendefiniskan sunnah dengan “dengan segala sesuatu yang telah terbukti dari Nabi SAW, bukan termasuk pengertian fardhu atau wajib dalam agama, dan bukan pula bersifat taklîf (pembebanan), melainkan hanya berupa “anjuran”. (Muhammad ibn Alawi, 1995: 14). Lain lagi, ulama dakwah, mereka cenderung memposisikan sunnah sebagai lawan dari bid’ah. Hal ini disebabkan karena pembahasan mereka adalah memperhatikan perintah dan larangan syara’. (Abû Zahw, [t.th]: 9).
Pada sisi lain, Syuhudi Ismail (1994a: 14-16) mengemukakan adanya perbedaan spesifik maksud istilah sunnah dan hadîts sebagai dapat dilihat dari jabaran dalam tabel berikut:
Nama Ulama Penjelasan maksud istilah
Hadîts Sunnah
Sulayman al-Nadwî Segala peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, walaupun hanya sekali beliau kerjakan dan hanya diriwayatkan seoang periwayat Nama bagi sesuatu yang kita terima dari secara mutawatir dari Nabi SAW
A. Qadir Hasan Berhubungan dengan masalah yang bernuansa teoritis (nazharî) Berhubungan dengan masalah yang bersifat praktis (amalî)
Ibn al-Humâm Riwayat berupa sabda Nabi Riwayat berupa sabda dan perbuatan Nabi
Tawfiq Shidqi Sabda Nabi yang diriwayatkan secara ahad, terbatas orang yang mengetahuinya, dan tidak menjadi amalan umum Tatacara dan prilaku Nabi yang diamalkan nya terus menerus dan diikuti oleh para shahâbat
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa: (1) Dari segi subyek yang menjadi sumber asalnya, yaitu Nabi SAW, maka hadîts sama dengan sunnah. (2) Ditilik dari kualitas amaliyah dan periwayatnya, status hadîts berada di bawah sunnah, (3) Ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, bila lafal hadîts sengaja dipisah dari sunnah, maka urutannya adalah al-Qur`ân, Sunnah, dan hadîts.







2. Khabar
Secara etimologi, khabar berarti “berita”. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat ulama tentang arti khabar, yaitu:
a. Menurut Shubhi al-Shâlih (1977: 10), sebagian ulama menyamakan khabar dengan hadits, yaitu apa yang datang dari Nabi, baik disandarkan kepada Nabi (marfû’), kepada shahabat (mawqûf), maupun kepada tabi’in (maqthû’). Adapun alasannya, dari segi bahasa arti hadits dan khabar adalah berita. Di samping itu, term perawi tidaklah terbatas bagi orang yang meriwayatkan berita dari Nabi saja, tetapi juga yang meriwayatkan berita dari shahabat dan tabi’in.
b. Menurut Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb dalam karyanya Ushûl al-Hadits: ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu” (1989: 27), sebagian ulama membedakan khabar dengan hadits. Hadits adalah apa yang berasal dari Nabi, sedangkan khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Implikasinya, orang yang menekuni hadits disebut muhaddits, sedangkan yang menggeluti sejarah disebut akhbari. Selain itu, hadits bersifat khusus dan khabar bersifat umum. Artinya, setiap hadits adalah khabar dan tidak setiap khabar adalah hadits.
Khabar menurut bahasa adalah Semua berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Bentuk jamaknya adalah Akhbaar.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat :
• Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits, sehingga maknanya menjadi sama secara istilah.
• Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang datang dari Nabi; sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi, seperti shahabat dan tabi’in.
• Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum daripada hadits. Kalau hadits adalah segala apa yang datang dari Nabi, sedang khabar adalah yang datang dari Nabi shalallahu alaihi wasalam dan selain Nabi shalallahu alaihi wasalam

3. Atsar
Secara etimologi, atsar berarti bekas, sisa sesuatu, atau nukilan. Karena itu, doa yang dinukilkan dari Nabi dinamai “Doa Ma`tsûr”. Adapun secara terminologi, ada dua pengertian atsar, yaitu:
a. Atsar sinonim dengan hadîts, sehingga ahli hadîts juga disebut atsari. Dalam hal ini, al-Thabari memakai term atsar untuk apa yang datang dari Nabi. Bahkan, al-Thahawi juga memasukkan apa yang datang dari shahabat.
b. Atsar berbeda dengan hadîts. Di mata ulama fiqh, atsar adalah perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan sebagainya. Ulama Khurazan memaknai atsar sebagai perkataan shahabat, sedangkan ak-Zarkasyi memeakai term atsar untuk hadîts mawqûf, juga membolehkan pemakaiannya untuk hadits marfû’. (M. Syuhudi Ismail, 1994a: 10).
C. Bentuk-bentuk Hadîts
1. Hadits Qawli
Hadits qawli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, ucapan, ataupun sabda yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak, atau lainnya. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li ialah hadits yang menyebutkan perbuatan Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita. Misalnya hadits riwayat al-Bukhari dari Jabir ibn ‘Abd Allah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714)
3. Hadits Taqriri
Maksud hadits taqriri ialah Penetapan (Taqririyyah) yaitu perkataan atau perbuatan tertentu yang dilakukan oleh sahabat di hadapan Nabi Muhammad atau sepengetahuan beliau, namun beliau diam dan tidak menyanggahnya dan tidak pula menampakkan persetujuannya atau malahan menyokongnya. Hal semacam ini dianggap sebagai penetapan dari Nabi Muhammad walaupun beliau dalam hal ini hanya bersifat pasif atau diam. Sebagai contoh, pengakuan Nabi Muhammad terhadap ijtihad para sahabat berkenaan dengan shalat Ashar di perkampungan Bani Quraizhah, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abd Allah Ibn Umar:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar, kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan, kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III: 499, hadits 894)
4. Hadits Hammi
Hadits hammi adalah hadits yang menyebutkan keinginan Nabi saw yang belum sempat beliau realisasikan, seperti halnya keinganan untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura sebagai diriwayatkan dari ‘Abd Allah ibn ‘Abbas:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada har ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan, “Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim, V: 479, hadits 1916)
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang menyebutkan hal ihwal Nabi saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Contohnya, pernyataan al-Barra` ibn ‘Azib berikut ini:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ وَلَا بِالْقَصِي
Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh. Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”. (Shahih al-Bukhari, XI: 384, hadits 3285)
D. Struktur Hadîts
Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur), matan (redaksi), dan mukharrij/rawi (periwayat). Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (I: 21, hadits 12):
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه [رواه البخاري]
Artinya: (al-Bukhari meriwayatkan) Musaddad telah me-nyampaikan hadits kepada kami. Ia mengatakan, Yahya telah menyampaikan hadts kepada kami (sebagaimana berasal) dari Syu'bah, dari Qatadah dari Anas ra dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (HR. al-Bukhari)
Dalam hal ini, sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya, maka sanad hadits bersangkutan adalah Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW .
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya. Lapisan dalam sanad itu disebut thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh dalam bahasan pembagian (klasifikasi) hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah: (1). Keutuhan sanadnya, (2). Jumlahnya, dan (3). Perawi akhirnya (mukharrij/rawi) yaitu ulama yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi, mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Adapun matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya, maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri". Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan. Kemudian matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan), dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Sementara itu, Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits yang pernah ia dengar dari seseorang yang menjadi gurunya dalam kitab yang disusunnya. Istilah lainnya adalah mukharrij atau mudawwin yaitu ulama hadits yang mengeluarkan, mencatat, atau meriwayatkan hadits dalam kitab yang disusunnya. Pada dasarnya antara sanad dan rawi adalah dua istilah yang tidak terpisahkan. Sanad hadits pada setiap thabaqat [tingkatan] juga disebut rawi, dalam pengertian orang yang memindahkan atau meriwayatkan hadits. Perbedaan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
(1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang
(2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia . Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801 - 873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka muncul beberapa rumusan masalah yaitu:
1). Apa yang dimaksud dengan filsafat?
2). Kapan munculnya filsafat?
3). Bagaimana perkembangan filsafat mulai dari awal munculnya sampai sekarang?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
B. Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
C. Sejarah Perkembangan Awal Filsafat
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.
1. Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.


2. Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
3. Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan
Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
4. Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
5. Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
B. Saran













DAFTAR PUSTAKA
www.muslimphilosophy.com
id.wikipedia.org
www.cidcm.umd.edu
blog.wordpress.com
philosopi Mingguan Indonesia
A.LATAR BELAKANG
Setiap orang pasti ingin menjadi bos di bisnis atau usahanya sendiri, hanya orang yang berpikiran sempitlah yang seumur hidup ingin menjadi orang gajian.
Banyak sekali jalan menuju kesuksesan salah satu diantaranya dengan membuat cikal bakal bisnis yang diharapkan mampu mengembangkan daya kreativitas dan inovasi. Hal ini sangat membutuhkan keberanian yang luar biasa hanya orang yang bernyali besarlah yang mampu menggelontorkan dana demi sebuah har5apan yang belum pasti.
Bisnis adalah sebuah pembelajaran dimana dibutuhkan analisa yang sangat dalam tentang prospek dan kelayakan dalam usaha itu. Oleh karena itu bisnis itu harus dimulai sejak dini sehingga kita memiliki banyak waktu untuk dapat berpikir dan mengolah otak demi kesuksesan usaha tersebut.
Peluang usaha di depan mata tidak ada salahnya kalau kita memulai sekarang dan inilah yang melatarbelakangi berdirinya usaha ini adapun nama usaha tersebut yaitu “ ARHY CELLULAR”

DATA PERUSAHAAN:

Nama pemilik : Ahmad Arif
Nama usaha : Arhy cellular
No. telepon : 081241888828/ 04112888828
Alamat : Jln sultan hasanuddin no 123


B.TEMPAT USAHA
Setelah melalui beberapa tahap pencarian, tempat yang memungkingkan dimulainya usaha adalah ruko di kawasan sungguminasa gowa di jalan sultan hasanuddin no. 123.
Daerah ini dinilai cukup strategis karena berhadapan langsung dengan kampus dan tidak jauh dari tempat tersebut ada rumah sakit dan beberapa rumah penduduk.
Daerah ini berada tepat di depan jalan dua arah dan beberapa titik usaha strategis yang tidak sejenis seperti alfamart, apotik, salon, bengkel, dan rumah makan.

C. MANFAAT
Adapun manfaat dari usaha tersebut bagi:
1. keluarga
• memenuhi kebutuhan keluarga
• membantui financial keluarga
2. masyarakat umum
• membantu masyarakat dalam penyediaan isi ulang pulsa bagi masyarakat

D. ANGGARAN BIAYA
Setelah kami perhitungkan semua yang diperlukan untuk memulai usaha tersebut maka anggaran biaya yang diperlukan sebesar Rp.30.000.000


Adapun rinciannya:
1. sewa tempat :Rp. 5.000.000/thn
2. lemari : Rp5.000.000
3. voucher dan kartu perdana : Rp. 10.000.000
4. chip M-kios : Rp 3.000.000
5. chip M-tronik : Rp. 2.000.000
6. chip F-kios : Rp. 2.000.000
7. listrik : Rp. 200.000/bln
8. karyawan : Rp. 300.000/bln × 2 = Rp. 600.000


E. TENAGA KERJA
Setelah mempertimbangkan maka tenaga kerja yang kami pakai hanya 2 orang karena mengingat tidak terlalu sulit dan tenaga kerja yang diperlukan adalah tenaga kerja yang sudah berpengalaman dibidang tersebut.
E. PENUTUP
Setelah semua kami persiapkan kami harap usaha tersebut akan berjalan lancer dan semua masala yang akan muncul dapat diselesaikan dengan baik.